Selasa, 18 Maret 2008

analisis evaluasi belajar

Analisis Sistem Evaluasi Hasil Belajar Siswa
yang Menghambat Pengembangan Karakter Siswa SMA
(Studi Kasus: SMAN 65 Jakarta)
Disusun oleh:
Okvina Nur Alvita

Latar Belakang
Beberapa tahun berturut-turut peringkat Indonesia dalam Human Development Index (HDI) menempati posisi pada urutan bawah. HDI Indonesia tahun 2006 berada pada posisi 108 dari 177 negara (UNDP, 2006). Hal tersebut menunjukkan rendahnya kualitas SDM Indonesia. Salah satu faktor yang menentukan kualitas SDM adalah pendidikan. Kenyataan bahwa Indonesia menempati posisi bawah dalam HDI menunjukkan lemahnya manajemen sistem pendidikan di Indonesia.
Selama berpuluh-puluh tahun banyak kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kekurangan tersebut antara lain: terlalu berorientasi pada aspek akademis, teacher oriented, kurikulum yang terlalu berat, rasio guru dan murid yang tidak sesuai, dan aplikasi metode pendidikan yang digunakan kurang sesuai dengan tahapan perkembangan usia anak (Alvita, 2007). Akibatnya, SDM yang dihasilkan bukanlah SDM yang handal, namun sebaliknya SDM yang dihasilkan adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi kalau divonis dengan sistem rangking di sekolah), tidak bisa bekerja, tidak terampil, dan tidak berkarakter (Megawangi, et. al., 2005). Maka tidak heran jika mutu SDM Indonesia dalam HDI berada jauh dibawah Malaysia, Thailand, Filipina, dan terutama Singapura yang telah masuk dalam kategori high human development (UNDP, 2006).
Rendahnya HDI Indonesia yang berkorelasi dengan adanya kekurangan pada sistem pendidikan di Indonesia harus dibenahi. Selama ini karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak padai secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya meliputi aspek bahasa dan logis matematis), maka banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi, dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan perhatian (Megawangi, et. al., 2005). Padahal untuk menghasilkan SDM yang handal, salah satu syaratnya adalah karakter dari masing-masing individu haruslah baik. Hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi sekolah dan guru untuk memasukkan nilai-nilai budi pekerti dalam membentuk karakter yang kuat pada siswanya. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah sistem pendidikan yang ada kurang mendukung keleluasaan guru dalam memasukkan nilai-nilai karakter pada siswanya. Selain itu, keterampilan dan kekreatifan guru dalam memasukkan nilai-nilai karakter melalui pelajaran di sekolah pun patut untuk dipertanyakan karena selama ini guru cenderung hanya menuntaskan materi yang harus diajarkan pada siswa.
Permasalahan yang ada seputar sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia telah menjadi suatu bahan yang hangat untuk diperbincangkan, terutama bagi kalangan yang concern pada dunia pendidikan di Indonesia. Selain itu, karena pendidikan memegang peranan penting dalam mencetak kualitas SDM Indonesia, yang nantinya akan menentukan perkembangan bangsa ini. Diperlukan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia melalui terobosan baru dalam sistem pendidikannya. Oleh sebab itu, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional melakukan beberapa perubahan dalam jangka waktu kurang lebih empat tahun terakhir ini agar dapat memberikan perubahan pada output dari pendidikan yang selama ini hanya mampu mencetak SDM pada posisi bawah HDI.
Perubahan yang dilakukan pada sistem pendidikan di Indonesia dilakukan melalui kurikulum yang berlaku. Sejak tahun 2004 dunia pendidikan Indonesia menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun pada tahun ajaran 2006/2007 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diberlakukan menggantikan KBK 2004 (http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan).
KTSP yang berlaku sejak tahun 2006 diharapkan dapat menyempurnakan sistem pendidikan yang ada sebelumnya di Indonesia (Kurikulum 1994 dan KBK 2004) serta mampu menjawab permasalahan pendidikan yang selama ini menjadi polemik dalam dunia pendidikan Indonesia. Akan tetapi semua hal tersebut tidak akan berarti jika implementasi di lapangan tidak mengalami perubahan dari sistem pendidikan dan kurikulum yang ada sebelumnya.

Perumusan Masalah
Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia saat ini mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah (Muslich, 2007). KTSP yang dipercayakan pada setiap tingkat satuan pendidikan hampir senada dengan prinsip implementasi KBK, perlu dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Artinya, hal tersebut merupakan pelimpahan wewenang yang besar kepada sekolah untuk memperbaiki mutu pendidikannya, baik dengan menyusun dan mengembangkan kurikulum, maupun dengan mendorong guru untuk berinovasi, dan mengajak partisipasi masyarakat (Megawangi, 2007).
KTSP yang saat ini berlaku pada sistem pendidikan di Indonesia memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk “meramu” sendiri, mulai dari metode belajar mengajar hingga sistem penilaian evaluasi belajar siswanya. Kondisi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi sekolah untuk menghasilkan generasi yang berkualitas dengan mengoptimalkan semua sumberdaya yang dimiliki oleh sekolah.
Baru-baru ini beberapa SMA di Jakarta telah melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa. Studi kasus pada SMAN 65 Jakarta dalam pengimplementasian KTSP pada sistem evaluasi belajar siswa dapat dikatakan tidak sesuai dengan Developmentally Appropriate Practices dan cenderung melanggar hak anak. Berkenaan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji adalah:
1. Bagaimana kriteria sekolah yang ideal sebagai tempat belajar yang kondusif untuk siswa, sehingga siswa dapat mengembangkan karakternya?
2. Bagaimana sistem penilaian kelas pada KTSP?
3. Bagaimana sistem evaluasi belajar siswa di SMAN 65 Jakarta?
4. Apa dampak sistem evaluasi belajar di SMAN 65 Jakarta pada siswa?
5. Karakter apa yang dapat terbentuk pada siswa melalui sistem evaluasi belajar siswa (studi kasus: SMAN 65 Jakarta)?
6. Apa upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam menghadapi tantangan yang ada dalam pengimplementasian KTSP sekaligus dalam mengembangkan karakter siswa?
Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui kriteria sekolah yang ideal sebagai tempat belajar yang kondusif untuk siswa, sehingga siswa dapat mengembangkan karakternya.
2. Untuk mengetahui sistem penilaian kelas pada KTSP.
3. Untuk mengetahui sistem evaluasi belajar siswa di SMAN 65 Jakarta.
4. Untuk mengetahui dampak sistem evaluasi belajar di SMAN 65 Jakarta pada siswa.
5. Untuk mengetahui karakter apa yang dapat terbentuk pada siswa melalui sistem evaluasi belajar siswa (studi kasus: SMAN 65 Jakarta).
6. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam menghadapi tantangan yang ada dalam pengimplementasian KTSP sekaligus dalam mengembangkan karakter siswa.

Pembahasan
Filosofi pendidikan yang dikemukakan oleh Socrates dalam Megawangi (2007) pada 2400 tahun yang lalu yaitu untuk membentuk seseorang menjadi good and smart. Good dalam aspek karakter dan smart dalam aspek intelektualitas, atau manusia yang baik dan bijak, yakni orang yang dapat menggunakan kepandaiannya kepada hal-hal yang baik. Akan tetapi jika kita melihat sistem pendidikan saat ini mungkin telah menyalahi filosofi pendidikan Socrates (Megawangi, 2007).
Untuk membentuk individu yang good and smart diperlukan sistem pendidikan yang menyenangkan bagi peserta didiknya, sehingga anak mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang ada dalam diri manusia meliputi potensi akademik, potensi fisik, potensi sosial, potensi kreatif, potensi emosi dan potensi spiritual (Megawangi, et. al., 2005). Manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada lingkungan hidupnya (Megawangi, et. al., 2005). Tujuan pendidikan di Indonesia yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 adalah untuk membentuk manusia yang holistik dan berkarakter (Megawangi, et. al., 2005). Manusia holistik dan berkarakter merupakan human capital untuk bagi perkembangan suatu bangsa. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana cara yang dapat ditempuh untuk menghasilkan manusia holistik dan berkarakter? Kita akan memulai pembahasan dengan apa saja yang dibutuhkan oleh sekolah agar menjadi sekolah yang “ideal”.
Kriteria Sekolah “Ideal”
Sekolah yang ideal merupakan sekolah yang kondusif dan menyenangkan bagi siswanya untuk belajar. Suasana yang kondusif dan menyenangkan memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Merujuk pada pendapat Megawangi, et. al (2005), sekolah dapat dikatakan ideal bagi siswa untuk menerima kegiatan belajar mengajar apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
Student Active Learning
Partisipasi aktif anak dalam proses belajar merupakan hal yang sangat vital dan dapat dikatakan sebagai “jantung” dari proses belajar yang efektif. Anak pada dasarnya mempunyai rasa keingintahuan yang besar sekali sehingga mendorong untuk selalu bertanya. Anak harus dilibatkan secara langsung dalam proses belajar dengan menunjukkan objek-objek secara kongkrit dan dirangsang rasa keingintahuannya melalui diskusi kelas. Jadi, anak mengalami secara langsung semua hal yang dipelajarinya, dan tidak hanya mendengarkan guru (teacher oriented) yang membuat anak menjadi pasif, sehingga segala sesuatu yang diperoleh anak dalam proses belajar mengajar akan bertahan lama dan dapat diimplementasikan pada kehidupan sehari-harinya. Adanya keterlibatan langsung anak dalam proses belajar melalui pemberian pengalaman yang kongkret maka akan membentuk kesadaran yang dapat memberikan manfaat langsung dan memberikan makna hakiki pada anak. Selain itu, kesadaran dapat ditumbuhkan melalui apresiasi terhadap keindahan, kekaguman tentang alam, dan perbuatan kebajikan. Hal ini juga dapat dilakukan dengan mendidik anak untuk merasakan, baik melalui perenungan ataupun melalui tindakan yang bermanfaat dan merasakan kebenaran dari tindakan tersebut. Disamping semua itu, hal terpenting yang dapat ditumbuhkan dari proses belajar aktif adalah dapat meningkatkan kemampuan fisik, kreatifitas, emosi, sosial, spiritual, dan akademik. Dari uraian tersebut, maka secara tidak langsung akan terbentuk good character pada anak.
Developmentally Appropriate Practicess (DAP)
DAP atau dalam terjemahan bebas Bahasa Indonesia adalah pendidikan yang patut dan menyenangkan sesuai dengan tahapan perkembangan anak, mencerminkan proses pembelajaran yang bersifat interaktif. Konsep DAP yang dikembangkan melalui baragam kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak menyebabkan anak memiliki pengalaman yang kongkret serta menyenangkan saat terjadinya proses belajar, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran (awareness) pada anak.
Collaborative Learning
Collaborative learning adalah metode yang melibatkan siswa dalam diskusi dalam upaya untuk mencari jawaban atau sebuah solusi yang sedang dipelajari. Implementasi collaborative learning dapat dilakukan metode cooperative learning, yaitu siswa bekerja bersama-sama, berhadapan muka dalam kelompok kecil dan melakukan tugas yang sudah terstruktur. Terdapat beberapa keuntungan dengan mengaplikasikan cooperative learning, diantaranya adalah siswa belajar bagaimana mengelola kelompok (termasuk juga mengelola konflik), siswa dapat berpartisipasi aktif dengan mencelupkan anak pada kegiatan yang mengasyikkan, siswa dapat menjadi guru bagi kawannya, penghargaan diberikan pada setiap individu karena semua kontribusi yang diberikan oleh masing individu dihargai, siswa dapat melihar perspektif yang lebih lengkap dengan berdiskusi antar sesama kawan yang dapat pula mengembangkan kemampuan interpersonalnya.

Multiple Intelligences
Gardner (2003) menyebutkan bahwa terdapat tujuh kecerdasan pada diri manusia, yaitu: kecerdasan musik, kecerdasan gerakan-badan, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan linguistik, kecerdasan ruang, kecerdasan antar pribadi, kecerdasan intra pribadi. Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mampu mengembangkan kecerdasan yang ada pada diri tiap individu dengan menghargai segala keunikan dan perbedaannya. Apabila sekolah mampu mengembangkan satu saja aspek kecerdasan yang ada pada diri siswanya (namun dilakukan secara optimal), maka dapat terbentuk individu yang benar-benar cerdas di bidangnya karena ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan minatnya.
Apabila semua kriteria sekolah ideal dilaksanakan oleh sekolah maka anak akan mendapatkan pengalaman belajar yang efektif dan menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh aspek dimensi manusia secara holistik.

Sistem Penilaian Kelas pada KTSP
Penilaian kelas merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk pemberian keputusan terhadap hasil belajar siswa berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya sehingga didapatkan potret atau profil kemampuan siswa sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum (Muslich, 2007). Muslich (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa bentuk dan teknik yang bisa dilakukan dalam penilaian kelas, yaitu:
1. penilaian kinerja (performance)
2. penilaian penugasan (project)
3. penilaian hasil kerja (product)
4. penilaian tes tertulis (paper & pen)
5. penilaian portofolio (portofolio)
6. penilaian sikap
Paper ini akan membahas metode yang digunakan oleh sekolah dalam penilaian tes tertulis, maka pembahasan pada bagian ini hanya dikhususkan pada penilaian tes tertulis saja. Penilaian tes secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan (Muslich, 2007). Contoh penilaian tertulis tipe objektif antara lain: jawaban benar-salah, isian singkat, pilihan ganda, menjodohkan. Sedangkan contoh penilaian tertulis tipe subjektif antara lain: pengerjaan soal, latihan, membaca pemahaman, esai terstruktur, esai bebas.

Sistem Evaluasi Belajar Siswa di SMAN 65 Jakarta
Evaluasi belajar siswa umumnya secara serentak dilaksanakan pada tiap sekolah pada akhir semester kegiatan belajar mengajar. Begitu juga yang terjadi di SMAN 65 Jakarta. Evaluasi belajar siswa yang dilaksanakan di akhir semester dilakukan dengan metode penilaian tes tertulis.
KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah (Muslich, 2007). Karena disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah maka dalam implementasinya sekolah diberi kewenangan untuk menyusun metode pembelajaran, termasuk sistem evaluasi belajar siswa. Evaluasi belajar siswa (ujian) pada SMAN 65 Jakarta hanya dilaksanakan selama lima hari, terhitung mulai hari Senin hingga Jumat. Dalam lima hari ujian, terdapat 12-14 mata pelajaran (ada perbedaan jumlah mata pelajaran dari masing-masing tingkat kelas) yang harus diselesaikan oleh siswa. Akibatnya adalah ada beberapa hari ujian yang harus dilalui siswa dengan 3 mata pelajaran yang harus diujiankan.

Dampak Sistem Evaluasi Belajar Siswa di SMAN 65 Jakarta
Penulis telah melakukan penelitian pada 16 siswa SMAN 65 Jakarta mengenai hal yang terkait dengan sistem evaluasi belajar siswa serta apa dampak yang ditimbulkan pada siswa. Sebanyak 14 siswa dari 16 siswa atau 87,5% siswa merasa keberatan dengan sistem evaluasi belajar dimana siswa harus mengikuti 3 mata pelajaran yang diujiankan dalam satu hari. Dampaknya pada siswa adalah siswa akan mengalami stress. Dari 16 siswa, 15 siswa atau 93,75% siswa mengalami stress karena sistem evaluasi hasil belajar yang diterapkan di sekolahnya. Artinya sebagian besar siswa keberatan dengan adanya ujian tiga mata pelajaran dalam satu hari serta dampak yang ditimbulkan dari sistem yang berlaku tersebut adalah siswa mengalami stress.
Membebankan siswa tiga mata pelajaran dalam satu hari ujian bukan merupakan hal yang manusiawi. Tidak semua siswa memiliki potensi akademis yang sama. Teori kurva bel yang dijelaskan oleh Megawangi (2004), menunjukkan sebaran normal pada distribusi kecerdasan intelektual pada seluruh manusia yang ada di muka bumi. Artinya, individu yang memiliki IQ di atas 115 tidak lebih dari 15% penduduk, begitu pula dengan penduduk yang memiliki tingkat kecerdasan rendah (dibawah 85) hanya berjumlah 15%. Sisanya adalah penduduk yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, yakni berkisar antara 85-115. Sistem evaluasi belajar siswa yang diberlakukan pada SMAN 65 Jakarta mungkin hanya tepat untuk siswa 15% teratas, lalu pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan siswa yang memiliki kecerdasan 85% sisanya? Mereka akan mengalami stress. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, lebih dari 85% siswa mengalami stress. Hal tersebut mengindikasikan bahwa siswa yang termasuk dalam kategori 15% teratas pun dapat mengalami stress dengan sistem evaluasi hasil belajar yang tidak sesuai Developmentally Appropriate Practices.
Umumnya sekolah hanya mengujiankan dua mata pelajaran saja dalam satu hari. Kebijakan yang diambil oleh SMAN 65 Jakarta dengan memberlakukan tiga mata pelajaran dalam satu hari ujian telah melanggar hak anak. Hak anak yang dilanggar adalah dengan memberikan metode pendidikan yang tidak menyenangkan pada anak sehingga anak mengalami stress. Dalam keadaan stress atau under pressure umumnya manusia tidak bisa melakukan segala sesuatu secara optimal, termasuk belajar untuk menyiapkan ujian. Akibat yang dapat ditimbulkan dari keadaan ini adalah dapat memicu perilaku negatif pada siswa yang dapat mempengaruhi karakternya. Perilaku apa saja yang dapat terjadi serta karakter apa yang dapat terbetuk pada siswa akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.


Karakter yang Dapat Terbentuk pada Siswa Melalui Sistem Evaluasi Belajar Siswa
Dampak yang ditimbulkan dari sistem evaluasi belajar siswa dengan tiga mata pelajaran dalam satu hari ujian adalah stress pada siswa. Dalam keadaan stress atau under pressure umumnya manusia tidak bisa melakukan segala sesuatu secara optimal, termasuk belajar untuk menyiapkan ujian. Akibat yang dapat ditimbulkan dari keadaan ini adalah dapat memicu perilaku negatif. Pada taraf tertentu perilaku negatif tersebut akan “mendarah daging” pada siswa sehingga dapat mempengaruhi karakternya.
Perilaku negatif yang timbul akibat tekanan tiga mata pelajaran dalam satu hari ujian adalah dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan curang pada saat ujian. Tindakan curang tersebut antara lain: “bekerjasama” dalam mengerjakan soal dengan temannya, mencontek, melihat jawaban teman, dan perilaku tidak jujur lainnya.
Tindakan negatif yang dilakukan oleh siswa pada saat ujian dapat diketahui dari komentar beberapa siswa tentang ujian yang telah berlangsung. Ada yang menuliskan “jangan membuat hal-hal yang mencurigakan (kalo bikin contekan)”, komentar lain menuliskan “pengawas yang berlebihan menyebabkan ketegangan dalam menghadapi ujian”. Pernyataan-pernyataan siswa tersebut dapat memberikan gambaran secara jelas bahwa telah terjadi perilaku negatif siswa pada saat ujian. Selain itu, sistem evaluasi belajar siswa seperti yang terjadi pada SMAN 65 Jakarta dapat mengubah orientasi belajar siswa. Orientasi belajar siswa bukan lagi untuk memperoleh ilmu, tetapi hanya semata-mata untuk mendapatkan nilai yang tinggi atau hanya sekedar memenuhi batas kelulusan (supaya tidak mengikuti remedial). Akibatnya, apabila orientasi siswa hanya untuk mendapatkan nilai maka karakter yang akan terbentuk padanya adalah ia akan melakukan segala cara untuk mencapai apa yang ia inginkan, tentunya cara-cara yang dilakukannya bukanlah cara yang baik. Saat dewasa, karakter yang terbentuk sejak di bangku sekolah akan termanifestasi pada perilaku menipu, korupsi, kolusi, nepotisme, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya (kepentingan pribadi).
Sekolah sebagai salah satu institusi yang bertanggung jawab dalam pembentukan karakter anak sudah tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi kredibilitasnya. Jika keadaan sudah demikian parah, maka tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003, untuk membentuk manusia yang holistic dan berkarakter tidak akan dapat terwujud. Pendapat Megawangi (2007) pun benar, bahwa sistem pendidikan saat ini telah menyalahi filosofi pendidikan Socrates 2400 tahun yang lalu, yaitu pendidikan untuk membentuk manusia yang good and smart. Good dalam karakter dan smart dalam intelektual. Bisa jadi dengan sistem evaluasi hasil belajar seperti yang terjadi pada SMAN 65 Jakarta, pendidikan di Indonesia tidak mampu mengembangkan filosofi dasar pendidikan seperti yang disebutkan oleh Socrates.
Jika dampak yang dapat ditimbulkan hanya dengan satu masalah (sistem evaluasi hasil belajar yang tidak tepat) dapat demikian hebat di masa yang akan datang dan mampu menggoyahkan stabilitas bangsa, maka apa yang dapat diupayakan oleh sekolah untuk meminimalisir kemungkinan tersebut?

Upaya yang Dapat Dilakukan oleh Sekolah dalam Menghadapi Tantangan Pengimplementasian KTSP Sekaligus dalam Mengembangkan Karakter Siswa
KTSP yang dipercayakan pada setiap tingkat satuan pendidikan hampir senada dengan prinsip implementasi KBK, perlu dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Artinya, hal tersebut merupakan pelimpahan wewenang yang besar kepada sekolah untuk memperbaiki mutu pendidikannya, baik dengan menyusun dan mengembangkan kurikulum, maupun dengan mendorong guru untuk berinovasi, dan mengajak partisipasi masyarakat (Megawangi, 2007). Menghadapi tantangan perubahan kurikulum yang tujuannya adalah untuk memudahkan sekolah untuk mengoptimalkan seluruh sumberdaya yang ada, upaya yang dapat dilakukan sekolah dalam mengimplementasikan KTSP sekaligus dalam mengembangkan karakter siswanya dapat ditempuh melalui cara sebagai berikut (Lickona dalam Megawangi,2004):
1. Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang dapat membentuk “Good Character”
2. Pendidikan karakter harus didefinisikan secara menyeluruh yang termasuk aspek “Thinking,Feeling, dan Action”
3. Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan komprehensif, dan terfokus dari aspek guru sebagai “role model” disiplin sekolah, kurikulum, proses pembelajaran, manajemen kelas dan sekolah, integrasi materi karakter dalam seluruh aspek kehidupan kelas, kerjasama orang tua dan masyarakat, dan sebagainya.
4. Sekolah harus menjadi model “masyarakat yang damai dan harmonis”. Sekolah merupakan miniature dari bagaimana seharusnya kehidupan di masyarakat, di mana masing-masing individu dapat saling menghormati, bertanggung jawab, saling peduli, dan adil. Hal ini dapat diciptakan dengan berbagai cara yang tersedia pada buku-buku petunjuk pendidikan karakter.
5. Untuk mengembangkan karakter, para murid memerlukan kesempatan untuk mempraktekkannya; bagaimana berperilaku moral. Misalnya bagaimana berlatih untuk bekerja sosial (memberikan sumbangan ke panti asuhan, panti wreda, membersihkan lingkungan, dan sebagainya), menyelesaikan konflik, berlatih menjadi individu yang bertanggung jawab dan sebagainya.
6. Pendidikan karakter yang efektif harus mengikutsertakan materi kurikulum yang berarti bagi kehidupan anak, atau berbasis kompetensi (life skills) sehingga anak merasa mampu menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan.
7. Pendidikan karakter harus membangkitkan motivasi internal dari diri anak, misalnya dengan membangkitkan rasa bersalah pada diri anak kalau mereka melakukan tindakan negatif, atau membangkitkan rasa empati agar anak sensitif terhadap kesulitan orang lain.
8. Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam pendidikan karakter. Peran kepala sekolah sangat besar dalam mobilisasi staf untuk menjadi bagian dari proses pendidikan karakter.
9. Pendidikan karakter di sekolah memerlukan kepemimpinan moral dari berbagai pihak; pimpinan, staf, dan para guru.
10. Sekolah harus bekerjasama dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya.
11. Harus ada evaluasi berkala mengenai keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Sekolah harus mempunyai standar keberhasilan dari pendidikan karakter, yang mencakup aspek bagaimana perkembangan guru/staf sebagai pendidik karakter, dan bagaimana perkembangan karakter murid-murid. Khusus untuk guru/staf sebagai model “person of character” adalah sangat krusial terhadap keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Oleh karena itu, pemahaman dan pelatihan kepada guru amat penting untuk dilakukan.
Dalam memasukkan nilai-nilai karakter pada siswa, hal yang tidak dapat dipisahkan adalah peran guru. Guru sebagai pendidik karakter harus mendapatkan pelatihan khusus, dan menggunakan modul atau kurikulum yang sudah tersedia untuk diterapkan di sekolahnya. Menurut Karen Bohlin, Deborah Farmer, dan Kevin Ryan dalam Megawangi (2004), ada tujuh kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik atau guru karakter:
1. Para pendidik haru dapat menjadikan dirinya sebagai contoh berkarakter yang baik dan mempunyai komitmen untuk menegakkan kebenaran
2. Para pendidik harus mampu menjadikan tujuan pembentukan karakter muridnya sebagai suatu yang prioritas dan merupakan bagian terpenting dari pekerjaan profesionalnya
3. Para pendidik harus senantiasa mengadakan diskusi tentang isu-isu moral dengan murid-muridnya, tentang bagaimana seharusnya menjalankan hidup, serta menjelaskan apa yang baik dan apa yang buruk.
4. Para pendidik harus dapat menyampaikan secara diplomasi (bijak) mengenai posisinya pada isu-isu etika, tanpa harus membebani mereka dengan pendapat dan opini pribadi
5. Para pendidik harus dapat mengajarkan empati terhadap orang lain, yaitu mengajaknya untuk keluar dari diri mereka dan melihat dari perspektif orang lain
6. Para pendidik harus dapat menciptakan suasana kelas yang bernuansa karakter, yang menerapkan standar etika tinggi dan penghormatan untuk semua
7. Para pendidik harus dapat membuat serangkaian aktivitas untuk mempraktekkan nilai-nilai karakter di rumah, di sekolah, dan di komunitas lingkungan, agar mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang peduli untuk selalu melakukan kebajikan.
Dalam kasus sistem evaluasi belajar siswa, yang dapat dilakukan sekolah adalah dengan tidak hanya menerapkan sistem tes tertulis, namun juga bisa dilakukan dengan penilaian portofolio (puisi, karangan, gambar, makalah, laporan observasi), penilaian kinerja (wawancara, diskusi, debat, bercerita, bermain peran), penilaian produk (kerajinan tangan, patung, merajut, bazar), penilaian tingkah laku (skala sikap, kuesioner, ungkapan perasaan, penilaian diri, buku harian, pengamatan perilaku). Melalui sistem penilaian yang beragam tersebut diharapkan siswa mampu mengembangkan seluruh potensinya karena ada keterlibatan langsung siswa dalam setiap penilaian yang dilakukan, penilaian yang dilakukan juga bersifat kongkrit sehingga siswa lebih mampu memahami makna dari setiap penilaian. Selain itu, penilaian selain penilaian testertulis lebih mendorong siswa untuk berkerja bersama-sama dalam kelompok sehingga mampu mengembangkan softskill berupa team work.

Penutup
Permasalahan rendahnya kualitas SDM Indonesia yang terlihat dari rendahnya peringkat Indonesia dalam HDI 2006 menunjukkan harus ada yang dibenahi pada sistem pendidikan di Indonesia. pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan perubahan pada sistem pendidikan dengan memberlakukan KTSP. Melalui sistem pendidikan yang baru, sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki agar dapat dihasilhan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, perubahan tersebut tidak akan ada artinya jika implementasinya tidak sesuai dengan filosofi dasar pendidikan, yakni membentuk anak yang good dalam karakter dan smart dalam intelektualitas. Implementasi KTSP di SMAN 65 Jakarta pada sistem evaluasi hasil belajarnya dapat memberikan gambaran pada kita bagaimana ketidakmampuan sekolah dalam mengorganisir pengimplementasian KTSP. Sistem evaluasi hasil belajar pada SMAN 65 Jakarta justru menumbuhkan karakter yang buruk pada siswanya karena jadwal ujian yang sangat padat. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka dapat menghambat pengembangan karakter yang baik pada siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pihak sekolah, guru, kurikulum dan juga metode pembelajaran harus terintegrasi dalam sekolah yang “ideal serta metode pendidikan yang diterapkan menganut pada konsep pendidikan holistik berbasis karakter. Hal ini dirasa penting untuk dilakukan agar output yang dihasilkan dari pendidikan di Indonesia adalah generasi/manusia yang holistik dan berkarakter yang mampu mengatasi segala permasalahan bangsa.

Daftar Pustaka

Alvita, O.N. 2007. Pendidikan Holistik Berbasis Karakter pada Anak Usia Prasekolah: Jawaban Membangun Bangsa. Essay pada Lomba Essay Optimisme Anak Bangsa Tingkat Nasional.
Gardner, H. 2003. Kecerdasan Majemuk. Batam Centre: Interaksara.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat Untuk Membangun Bangsa. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, R., et.al. 2005. Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, R. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Jakarta:FEUI Press.
Muslich, M. 2007. KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara
UNDP. 2006. Human Development Report 2006. New York: St. Martin’s Press.

Senin, 25 Februari 2008

Makalah kepemimpinan sekolah dalam kontek kearifan lokal

KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM KONTEK KEARIFAN LOKAL
Oleh: Tapa Harjanta

PENGEMBANGAN KARAKTERISTIK DAN KOMPETENSI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM KONTEK KEARIFAN LOKALBAB IPENDAHULUAN1. Kearifan Lokal Dalam PendidikanNilai kearifan local adalah merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya, kini banyak mulai ditinggalkan seiring dengan perkembangan jaman yang dipengaruhi kemajuan tehnologi dan derarsnya arus inforamasi yang sangat cepat membuat dunia seakan-akan tidak ada sekatnya, namun perkembangan jaman yang begitu pesat ini masih banyak nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang luhur dari para pendahulu yang masih relevan dengan kondisi-kondisi sekarang ini.Para leluhur kita seperti Srisusuhunan Pakubuwono IV dalam serat Wulangreh-nya dapat kita jumpai ajaran-ajaran luhur , juga bapak Pendidikan Nasional kita yaitu KH. Dewantara atau R.M. Suwardi mengemukan tentang ajaran-ajaran luhur yang berkaiatan dengan perguruan Taman Siswa, dan dalam tulisan ini penulis akan mengambil salah satu ajaran yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara.Pada saat mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa KH. Dewantara banyak sekali menghadapi banyak tantangan, karena pada saat itu Indonesia dalam cengkeraman bangsa penjajah yaitu Belanda, dengan berbagai cara pemerintah kolonial Belanda tidak menginginkan berdirinya lembaga pendidikan Taman Siswa karena bagi belanda itu merupakan sebuah ancaman yang sangat besar bagi keberadaan Belanda di Indonesia.2. Tantangan Taman SiswaTantangan Tamana Siswa dari pemerintah kolonial Belanda yaitu:membeslah semua barang-barang Taman Siswa yang dianggap tidak mau membayar pajak.masalah tunjangan anak.masalah pajak upah.undang-undang sekolah liar pada tahun 1932.Darsiti Soeratman; (1985:106)Untuk mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Taman Siswa KH. Dewantara menanamkan ajaran kepada para siswa dan pamong untuk menentang pemerintah colonial Belanda, penentangan itu diwujudkan dengan ajaran –ajaran yang sangat luhur. Dengan ajaran itu ternyata mampu mempertahankan eksistensi Taman Siswa.BAB IIPEMBAHASAN1. Ajaran KH. DewantaraAjaran-ajaran yang disampaikan oleh KH. Dewantara pada saat ini masih layak untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran ini muncul dengan banyaknya tantangan yang dihadapi oleh Taman Siswa pada saat itu, tantangan atau masalah yang sangat besar ketika pemerintah colonial Belanda menerapkan undang-undang sekolah liar pada tahun 1932, dengan keberadaan itu munculah ajaran yang disampaikan oleh KH. Dewantara yang ternyata mampu mempertahankan eksistensi Taman Siswa, dan ajaran itu adalah :Tetep – Mantep – AntepNgandel – Kendel – Bandel – KendelNeng – Ning – Nung – Nang2. Pengertian Ajaran Kearifan Lokal KH DewantaraTetep – Mantep – Anteptetep atau tetap = untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan perlulah selalu dalam pekerjaan, jangan menoleh ke kanan atau ke kiri, keteguhan hatimantep atau berbesar hati = tidak ada kekutan yang mampu menahan kita.Antep atau berat = tidak mudah dihambat atau dipatahkan lawan, tangguh.Ngandel – Kendel – Bandel – KendelNgandel atau yakin = yakin atas penguasa Tuhan atas kekutan diri sendiri, percaya diri.Kendel atau berani = keberanian menghidarkan rasa takut, berani atas dasar kebenaran.bandel atau tawakal tau tahan = mampu, kuat untuk menderita, tabah, ulet.Kendel atau tebal = meskipun menedrita tetap kuat badanyaNeng – Ning – nung – Nangneng - meneng atau diam = mempunyai ketenteraman lahir dan batinning-wening atau bening = pikiran yang jernih, dapat membedakan antar yang baik dan jelek, yang benar dan salah, jujur.Nung-hanung atau kuat, sentosa = mempunayai kemauan yang kuat untuk mencapai sesuatu.Nang-wewenang atau menang = berhak atas usahanya.Darsiti Soeratman; (1985:107)3. Pemahaman Konsep AjaranA. Ajaran tetep – mantep – antep = dalam meraih kenginan kita harus berjalan tertib dan maju, setia terhadap dasar-dasar , harus berbesar hati dan mempunyai ketguhan hati agar tidak terpengaruh oleh kekutan yang ingin membelokan dengan demikian kita dapat dihambat oleh lawan.B. Ajaran ngandel – kendel – bandel – kendel = orang yang mempunyai keberanian diri akan menumbuhkan rasa percaya diri, akan mudah untuk tawakal.C. Ajaran neng – ning – nung – nang = mengajarkan kepada kita bahwa barang siapa yang bisa ‘diam’ tentu dia akan mudah berpikir jernih, lalu jadilah dia orang yang kuat kemauanya, dan akhirnya orang itu berhak atas kemenanganya, usahanya.Darsiti Soeratman; (1985:108)Ajaran luhur KH. Dewantara mengajarkan kepada kita untuk selalu berjalan tertib, memegang dasar-dasar , tidak mudah terpengaruh oleh kekuatan atau budaya yang belum tentu cocok dengan budaya kita, mempunyai keprcayaan diri, dapat dipercaya, berani dalam kebenaran, tawakal, jernih dalam berpikir, tidak banyak bicara, mempunyai kemauan yang kuat agar dapat meraih tujuan.4. Ajaran Kearifan Lokal Dalam Kepemimpinan SekolahPendidikan di Indonesia sekarang ini mengemban misi pemertaan pendidikan, dalam pengelola kualitas pendidikan juga mengemban tugas yang berat karena menyangkut harkat dan martabat bangsa Indonesia . Pendidikan nasional menghadapi pengaruh lingkungan eksternal, perkembangan ekonomi, budaya, politik dan ilmu dan tehnologi sehingga perlunya antisipasi untuk keperluan masa depan bangsa, perubahan paradigma baru dalam dunia pendidikan sangat diperlukan untuk menjawab perkembangan global.Kepemimpinan dalam TQM diapandang sebagai alat dalam menerapkan manajemen mutu terpadu harus memiliki visi dan misi atau pandaangan jauh ke depan. Gaya kepemimpinan seorang kepala sekolah sangat mempengaruhi dalam mengelola sekolah tersebut, dia lebih sebagai seorang leader, untuk itu pemimpin harus :Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksalebih bersandar pada kerja sama dalam menjalankan tugas dibandingkan pada kekuasaan (SK).Senantiasa selalu menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi, bukanya menciptakan ketakutan.Senantiasaa menunjukan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada menunjukan bahwa dia tahu sesuatu.Senantiasa mengembangkan suasana antusias buksnys mengembangkan suasana yang menjemukan.Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalaahkan kesalahanpada seseorang, bekerja dengan penuh ketangguhan bukanya ogah-ogahan karena serbaa kekurangan. ( Boediono,1998, ditulis oleh Portal Dunia Guru.com, Dunia Guru, 2007 )5. Masalah-Masalah Dalam Pengelolaan PendidikanMasalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah, dkk adalah : pertama sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin bergerak karena perintahï atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang.Masalah kedua adalah tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua program dimonitor dan dievaluasi dengan baik, Namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.Masalah ketiga adalah gaya kepemimpinan yang tidak mendukung. Pada umumnya pimpinan tidak menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberhasilan kerja stafnya. Hal ini menyebabkan staf bekerja tanpa motivasi. Masalah keempat adalah kurangnya �rasa memiliki� pada para pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip �melakukan sesuatu secara benar dari awal� belum membudaya. Pelaksanaan pada umumnya akan membantu sustu kegiatan, kalau sudah ada masalah yang timbul. Hal inipun merupakan kendala yang cukup besar dalam peningkatan dan pengendalian mutu. (M. Jusuf Hanafiah dkk, 1994:8).Kepala sekolah merupakan salah satu sumber daya sekolah yang disebut sumber daya manusia jenis manajer yang memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan menyerasikan sumber daya manusia jenis pelaksana melalui input manajemen selebihnya agar SDM-P menggunakan jasanya untuk bercampur tangan dengan sumber daya selebihnya, sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan baik.6. Karakteristik Kepala Sekolah TangguhKarakteristik kepala sekolah tangguh dapat digambarkan sebagai berikut ( Slamet,PH, 2000, ditulis Portal Guru, Dunia Guru, 2007) :A. Memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi).B. Memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumberdaya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolahC. Memiliki kemampuan untuk merencanakan daan melaksanakan keputusan dengan baik.D. Memiliki kemampuan mengambil keputusan dan terampil ( cepat, tepat, cekat, dan akurat).E. Memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya yang dilmiliki untuk mencapai tujuan dan mampu menggugah untuk melalakukan hal-hal yang penting dalam mencapai tujuan sekolahnya.F. Memiliki toleransi terhadap perbedaan setiap orang.G. Memiliki kemampuan memarangi musuh-musuh kepala sekolah yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, imitasi, arogansi, pembohong, kaku, bermuka dua dalm bersikap dan bertindak.Kepala sekolah menggunakan "pendekatan sistem" sebagai dasar cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat), berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin (tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir "sebab-akibat" (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdipendensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif + kualitatif), dan berpikir sinkretisme.Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yang ditunjukkan oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan, yang disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban, dan hak), rencana (diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana), ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja, prosedur kerja, dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan yang baik kepada anak buahnya.7. Gaya Kepemimpinan Dalam Kontek TQMGaya kepemimpinan yang tepat dalam kontek TQM adalah kepemimpinan yang lebih tinggi tingkatanya, yang maksudnya adalah upaya mencari masukan dari karyawan yang diberdayakan, mempertimbangkan masukan dan bertindak berdasarkan masukan itu, jadi pemberdayaan adalah kunci dari gaya kepemimpinan ini.Karakteristik kepemimpinan yang harus dimiliki seorang manajer agar bawahanya dapat setia kepadanya, diantaranya adalah sebagai berikut :Rasa tanggung jawab yang besar.Disiplin pribadiBersifat jujur.Memiliki kreditbilitas yang tinggiMenggunakan akal sehat ( common sense) sehingga dapat mneentukan kapan harus bersikap fleksibel dan kapana harus bersikap tegas.Memiliki energi dan stamina yang tinggi.Memegang teguh komitmen terhadap tujuan organisasi, setiap orang yang bekerja denganya, dan terhadap pengembangan pribadi dan profesionalnya secara berkesinambungan.Setia dan tabah dalam menghadapi segala situasi, termasuk situasi yanag paling sulit.Manajemen sekolah yang efektif diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan, ada beberapa faktor yang menyebabkan mutu pendidikan rendah terletak pada unsur-unsur :kurikulumsumber daya ketenagaansarana dan fasilitasmanajemen sekolahpembiayaan pendidikankepemimpinan.Syafaruddin (2001:14)Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka penulis hanya akan mengambil satu unsure saja yaitu kepemimpinan, sebagai salah satu unsure dalam penerapan konsep pendidikan yang berdasarkan pada ajaran kearifan local yang telah penulis samapikan di atas.Dalam upaya memperbaiki kualitas sekolah unsure kepemimpinan , dalam hal ini yang dimaksud adalah kepala sekolah, memegang peranan penting dalam menjalankan organisasinya.` Hakikat kepemimpinan yang efektif adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau memdorong seseorang atau sekelompok orang agar bekerja secara sukarela untuk mencapai tujuan tertentu sasaran dalam situasi tertentu. Allan Tucker (1992), ditulis oleh Syfaruddin (2001: 50). Dalam memimpin seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan sukarela, dengan demikian seorang kepala sekolah dituntut mempunyai kompetensi, yaitu:visiketraampilan perencanaanberpikir kritisketrampilan kepemimpinanketrampilan mempengaruhiketrampilan hubungan interpersonalempatipengembanganpercaya diriketeguhan hatitoleransi. (Hoy dkk. 2000), ditulis oleh Syfaruddin (2001:64)Dari beberapa kompetensi tersebut penulis hanya akan mengambil 3 kompetensi sebagai dasar untuk menjelaskan ajaran kearifan lokal yang telah ditulis di depan, yaitu :8. Kompetensi Kepala Sekolah Dalam Kontek Kearifan lokalPecaya diriKeteguhan hatiToleransiKompetensi tersebut dapat penulis jabarkan sbb:a. Percaya diri1. kemampuan untuk merasa yakin akan potensi pribadinya2. kemapuan mendemonstrasikan dengan tegas tanpa permusuhan3. kemampuan menrima umpan balik4. kemampuan menyampaikan tantangan kepada orang lain.5. Kemampuan menyampaikan umpan balik untuk mengembangkan kepercayaan diri.b. Keteguhan hati1. komitmen terhadap tugas2. kemampuan membuat strategi3. kemampuan mengenali iklim yang diperlukanc. Toleransi1. kemampuan mendemonstrasikan ketabahan,ulet dalam situasi tertekan2. kemampuan menyatakan penilaian yang sesuai.3. Kemampuan memlihara keseimbangan antara beberapa prioritas.4. Kemampuan menyisakaan secara efektif suatu tingkat pekerjaan5. Kemampuan memperhitungkan tingkatan stress orang lain.Syafaruddin, (2001:65)Peranan pemimpin sekolah mempunyai kemampuan mengembangkan budaya mutu di sekolah, maka seorang kepala sekolah memiliki :1. visi yang jelas2. komitmen yang tinggi3. kemampuan mengkomonikasikan pesan4. kemampuan memimpin pengembangan5. sikap teguh6. kemampuan mengarahkan inovasi7. kemampuan membangun kelompok kerja aktif8. kemampuan mengevalusi dan memperbaikiDengan demikian keberhasilan kepala sekolah adalah kemampuan dalam menciptakan iklim belajar mengajar yang kondusif, yang kegiatanya yaitu dengan mempengaruhi, mengajak dan mendorong elemen sekolah untuk menjalankaan tugas masing-masing dengan komitmen yang tinngi. Kepuasan pelanggan merupakan tujuan yang utama dalam penyelenggaraan pendidikan.BAB IIIPENUTUPKesimpulanAjaran tentang kearifan local merupakan asset bangsa yang perlu dilestarikanAjaran kearifan local sampai dengan sekarang ini masih relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam dunia pendidikanDalam mengelola sekolah diperlukan seorang sosok pemimpin yang mampu menjadi teladan terhadap bawahanya.Kepala sekolah harus mempunyai sifat-sifat atau karakteristik sebagai seorang pemimpin maupun sebagai seorang manajer dalam mengelola organisasi yang menjadi tanggung jawabnya. Daftar PustakaSoeratman,Darsiti, 1985. Ki Hajar Dewantara, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.Syafaruddin, 2001. manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi, dan Aplikasi, Jakarta: GrasindoTjiptono F, Diana A. 2001. Total Quality Management, Yogyakarta , Andi Yogyakarta.Sallis E, 2006, Total Quality Management in Education, Jogjarta, IRciSoDwww. Portal Dunia Guru, 2007 , Artikel, Dunia Guru, 5 November 2007

Memotivasi Anak

Memotivasi anak
Menemukam Motivasi Belajar AnakIntrospeksiLihatlah sudut-sudut hati kecilmu dengan pandangan mata yang tajam dan pengamatan yang cermat. Jika engkau mendapati sesuatu yang terpuji, maka pujilah Allah dan teruslah berlalu. Akan tetapi, jika engkau melihat sesuatu yang menjengkelkan, maka ikutilah dengan evaluasi dan pemeriksaan yang baik terhadapnya (Al-Hars al-Muhasibi).Menemukan Motivasi Belajar SiswaSunday, 09 December 2007Pada tahun ajaran baru, beberapa sekolah dasar menerima murid-murid baru yang berasal dari bermacam-macam TK dan bermacam-macam kebiasaan di rumah yang selalu terbawa di sekolah.Pada masa ini, kebiasaan-kebiasaan, seperti bermain, mewarnai, dan menebalkan sangat sulit untuk langsung diubah ke tingkat membaca, dikte, menghitung, menulis, dan menghafal. Perubahan tersebut tentu memerlukan waktu. Berapa lamakah waktu yang harus dihabiskan? Jawabnya maksimal 2 bulan, kebiasaan-kebiasaan dari TK harus segera dikembangkan pada kemampuan membaca, menghitung, dan menghafal, karena semakin lama siswa menyesuaikan diri dalam kegiatan belajar mengajar, maka semakin tertinggal dia dalam memahami pelajaran tersebut dan semakin malas dia untuk mengikuti pelajaran.Beberapa murid ada yang sangat memerlukan motivasi untuk dapat mengikuti pelajaran, karena masih kurangnya kesadaran dalam arti pentingnya belajar. Untuk menjawab persoalan tersebut, tentu memerlukan beberapa metode mengajar yang harus digunakan oleh guru, untuk menyeimbangkan antara anak yang telah mampu mengikuti pelajaran dan perlu perhatian dalam belajar. Dalam pelaksanaannya penggunaan beberapa metode dalam sebuah kegiatan belajar mengajar tidak 100 % berhasil dalam mengatasi persoalan tersebut. Metode-metode tersebut biasanya bertahan pada saat penjelasan materi yang akan disampaikan, namun setelah kegiatan berpindah pada kegiatan pengaplikasian hasil dari apa yang telah diperhatikan dari penjelasan guru, terkadang hasil yang diinginkan tidak maksimal dan diperparah dengan keengganan atau munculnya rasa malas murid untuk menuliskan atau melakukan apa yang guru inginkan. Motivasi terbagi atas dua macam, motivasi dari dalam dan motivasi dari luar. Motivasi dari dalam muncul bila ada pemahaman si anak tentang tujuan dari apa yang akan dicapainya atau sebuah bentuk kesadaran yang timbul dari si anak itu sendiri. Biasanya motivasi ini akan bersifat kekal selama tujuan itu belum tercapai. Sedangkan motivasi dari luar muncul bila ada pancingan dari luar anak untuk melakukan apa yang diinginkan oleh si “pemancing”. Biasanya motivasi ini tidak bertahan lama, bila umpan-umpan untuk memotivasi masih menarik, maka kegiatan masih tetap berjalan, namun tidak selamanya seorang guru mampu terus mengumpan anak untuk dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itulah meskipun telah digunakan beberapa metode dalam mengajar masih ada anak yang belum mampu mengikuti dengan maksimal pelajaran. Dari kedua motivasi di atas, maka motivasi dari dalam diri siswalah yang perlu dikedepankan.Dalam beberapa kesempatan saya mencoba beberapa cara untuk memotivasi siswa saya kelas 1 SD, meskipun belum maksimal meningkatkan motivasi siswa, alhamdulillah telah mampu membantu atau meningkatkan motivasi siswa ketika mengalami kejenuhan dalam melakukan tugasnya. Langka-langkah tersebut diantaranya1. Menemukan cita-cita anakDalam kelas buatlah sebuah tempat untuk anak menuliskan cita-citanya. Agar mudah untuk diperhatikan oleh anak, maka buatlah tempat itu menarik dan terletak pada tempat yang strategis dapat dilihat. Setelah anak-anak diberi kesempatan untuk menuliskan cita-citanya, guru akan mudah untuk mengajak feeling anak pada arti pentingnya belajar. Kegiatan ini dapat dilakukan sebelum memulai kegiatan belajar mengajar. Setelah membaca doa sebelum belajar guru dapat mengajak siswa berkomunikasi tentang cita-cita yang dipilih oleh siswa, dengan harapan si anak sebelum mengikuti kegiatan belajar mengajar motivasi instrinsik telah tertanam pada si anak. Dan pada saat siswa menglami titik jenuh yang tinggi. Sebagai contoh, bila salah seorang anak yang memerlukan perhatian, memilih menjadi seorang dokter. Guru dapat mengatakan kepadanya. “kamu benar-benar ingin menjadi dokter, kamu tahu dokter itu bagaimana. Seorang dokter harus bisa memutuskan sesuatu tanpa bantuan orang lain, karena bila pada suatu ketika tidak ada orang yang memerlukan bantuannya, sedangkan tidak ada seorangpun yang ada pada saat itu. tentu si pasien terbengkalai dan semakin parah sakitnya”. Contoh lain, bila seorang anak bercita-cita ingin menjadi pilot. Guru dapat mengatakan kepadanya. “ seorang pilot itu pintar berhitung, dia tidak setiap saat bertanya untuk memperhitungkan, kapan pesawat akan menghindari gunung, berapa kecepatan yang ideal digunakan dan kapan untuk lepas landas, karena keselamatan penumpang ada pada kesiapan si pilot, bila setiap akan melakukan sesuatu dia bertanya, tentu pesawat tersebut dalam keadaan bahaya”.Pada suatu hari ada salah satu siswa saya yang mengalami tingkat kejenuhan dan kemalasan yang sangat tinggi, tugas yang saya minta untuk dikerjakannya belum satu ia tulis. Sayapun mendekatinya, dan berkata, “Royhan mau menjadi tentara besar nanti”, dia menjawab “Iya pak guru”, sayapun berkata “kok tentara malas nulis, tentara itu selalu semangat, selalu disiplin, tidak ada rasa malas sedikitpun, kalau seorang tentara selalu malas-malasan pada saat perang tentu dia akan cepat ditembak oleh musuh, dan bila Royhan malas-malasan seperti ini tidak akan mungkin bisa jadi tentara, mau menjadi tentara ada tes lo, harus bisa baca, bisa menulis, bisa berhitung dan masih banyak lagi”. Setelah ia mendengar sugesti yang saya sampaikan diapun dapat menyelesaikan tugas tersebut.2. BerceritaCerita adalah sebuah bagian yang mulai terlupakan pada kegiatan belajar mengajar, selain padatnya materi yang harus disampaikan dan kurangnya penguasaan guru dalam bercerita adalah penyebab tidak digunakan lagi metode ini untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. Bercerita adalah sebuah metode yang sangat menarik bagi siswa SD, karena melalui cerita guru dapat memasukkan pesan-pesan yang dapat mengobati sakitnya motivasi siswa. Cerita tentang seorang anak penjual koran yang belajar sambil berjualan, tentang anak yang malas belajar, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk cerita bermakna yang dapat kita sampaikan. Tentu timbul pertanyaan. Bagaimana mau meluangkan waktu untuk cerita, waktu untuk mengajarpun sangat sedikit?. Apakah anak akan menerima semua pelajaran bila kondisi anak tidak mau menerima pelajaran tersebut?. pertanyaan ini yang sering terlupakan oleh para guru, sering guru hanya mementingkan program pengajaran telah tercapai, kemampuan penguasaan siswa terabaikan. Alangkah baiknya meskipun waktu belajar terpakai sedikit untuk bercerita, namun anak mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan baik. Untuk merubah fenomena tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh sifat profesional guru tersebut.Sumber: http://alfurqon.or.id